Berdasarkan data terbaru terkait Balita yang mengalami Stunting di Indonesia hampir menyentuh angka 25%, atau tepatnya di angka 24,4% pada tahun 2021. Angka tersebut tentunya masih di atas ambang batas yang ditetapakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)yaitu 20%. Kemudian, Pemerintah telah menetapkan Stunting sebagai isu prioritas Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, dengan target prevalensi hingga 14% di tahun 2024. Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (PP) Republik Indonesia Nomor72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting. Hadirnya PP tersebut, tentunya memberikan legalitas bagi lembaga-lembaga atau kementrian terkait untuk saling bersinergi dan saling membahu untuk mempercepat angka penurunan Stunting di berbagai wilayah di Indonesia.
Secara umum, Stunting disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya yaitu faktor ekonomi. Ekonomi sebuah keluarga turut berkontribusi pada peningkatan Stunting, karena tidak terpenuhinya gizi bayi yang berdampak pada gizi buruk. Bayi setelah 6 bulan, tidak hanya diberikan Air Susu Ibu, tetapi juga harus mendapatkan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI). Makanan tersebut terdiri dari berbagai sumber yang bervariasi, seperti karbohidrat, protein nabati, protein hewani, sayur dan buah. Oleh karena itu, keadaan ekonomi orang tua sangat berpengaruh kepada masa pertumbuhan bayi hingga usia 5 tahun, karena masa itu merupakan masa emas atau golden age.
Di samping keadaan ekonomi keluarga yang tidak menentu, dan gizi bayi yang tidak bisa dipenuhi dengan baik. keadaan keluarga diperparah dengan adanya perceraian yang terjadi. Perceraian di Indonesia pada tahun 2021 terjadi sebanyak 447.743perkara, dan faktor penyebab terbesar adalah faktor ekonomi yaitu sebanyak 113.343. Pada kondisi ini pihak perempuan dan anak mejadi pihak yang paling merasakan dampak dari perceraian.
Selanjutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Nur Djannah Syaf, S.H., M.H dalam Seminar “Update Gugatan Mandiri dan e-Court untuk Peningkatan Akses Keadilan Bagi Perempuan”, bahwa dari 400.000 perceraian di setiap tahun yang masuk di seluruh Pengadilan Agama, sekitar 70% perkara diajukan oleh pihak istri dan lebih dari 1 juta anak terdampak oleh perkara tersebut setiap tahunnya. Kemudian hanya 1% perkara perceraian yang disertai hak nafkah anak dan hanya 2% yang disertai hak asuh anak.
Sebenarnya setelah perceraian kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara anak-anaknya. Sebagaimana diaturdalam Undang-Undang (UU) Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 pasal 41 yaitu, 1). Baik bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan anak;2). Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu;bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;3). Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
Meskipun kewajiban bapak dan ibu setelah perceraian sudah diatur dalam UU perkawinan, tampaknya masih belum optimal. Oleh karena itu, sebagai bentuk upaya perlindungan perempuan dan anak, Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Keputusan Badilag Nomor 1959 Tahun 2021 Tentang Pemberlakuan Ringksasan Kebijakan (Policy Brief) Jaminan Perlindungan Hak-Hak Perempuan dan Anak Pasca Perceraian.
Pada keputusan tersebut, pihak perempuan dan anak pasca perceraian termasuk kepada kelompok rentan yang memerlukan perlindungan khusus.Hadirnya keputusan ini juga diharapkan bisa melindungi hak-hak mereka setelah perceraian. Namun demikian, keputusan tersebut hanya terbatas pada lingkup Peradilan Agama, karena putusan ini dikeluarkan oleh badilag yang hanya menaungi dan bertanggungjawab pada lingkungan peradilan agama.
Hak-hak perempuan setelah perceraian diatur secara tegas di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 149, bahwa apabila terjadi perceraian karena talak(perceraian yang diajukan oleh pihak suami), maka mantan suami wajib memberikan mut’ah, nafkah,tempat tinggal, pakaian, kemudian melunasi mahar yang masih terhutang dan memberikan biaya pemeliharaan anak yang belum mencapai umur 21 tahun.
Kemudian, oleh karena pada KHI hanya menyebut perceraian karena talak, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018. Pada Rumusan Kamar Agama bagian Hukum Keluarga menyebutkan bahwa pada perkara Cerai Gugat (perceraian yang diajukan oleh isteri) dapat diberikan mut’ah dan nafkah idah selama tidak terbukti nusyuz(durhaka). Meskipun dalam SEMA tersebuthanya disebutkan 2 yang bisa diberikan, tidak menutup kemungkinan bagi isteri untuk meminta biaya pemeliharaan dan penididikan anak kepada mantan suaminya.Karena Hak anak sudah diatur dengan jelas dalam Undang –Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 B ayat 2 bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Di samping itu, Badilag telah membuat aplikasi gugatan mandiri untuk mempermudah bagipara pihak yang ingin bercerai dalam membuat surat permohonan perceraian maupun surat gugatan perceraian. Surat gugatan maupun permohonansecara sistem akan diberikan pertanyaan terkait hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian.Sehingga para pihak khususnya perempuan tidak lagi merasa kesulitan untuk meminta hak-hak mereka, terutama terkait biaya pemeliharaan anak.
Selanjutnya, dalam konteks percepatan penurunan Stunting.Hak-Hak Perempuan dan Anak pasca perceraian perlu untuk disosialisasikan seluas-luasnya kepada masyarakat Indonesia secara umum. Sehingga, tidak terjadi lagi penelantaran anak oleh kedua orang tuanya terutama dari pihak bapak. Dengan adanyakemudahan akses dalam pembuatan surat gugatan dan juga peraturan-peraturan yang mendukung serta melindungi hak-hak perempuan dan anak pasca perceraianbisa berkontribusi dalam percepatan penurunan Stunting.
Sumber: https://badilag.mahkamahagung.go.id/artikel/publikasi/artikel/kontribusi-peradilan-agama-pada-percepatan-penurunan-stunting-oleh-mohamad-asep-23-12
Leave a Reply